Kamis, 26 Juni 2008

Suramnya dunia baca...


oleh : Azmie eF

"Tipis bedhone wong bodho ambe' wong sing ga tau moco", begitulah segelintir kata-kata yang tertulis di samping sebuah rombong (baca; gerobak) dipojok fakultas dakwah IAIN Sunan Ampel surabaya. gerobak yang konon katanya pernah jaya mengkampanyekan baca di lingkungan civitas akademika IAIN Sunan Ampel itu kini teronggok tak berdaya tanpa ada yang mendorong dan keliling membawa buku yang biasanya dilahap oleh sebahagian kaun intelaktual di institusi tersebut. membaca memang terkadang menjadi sebuah aktivitas menjemukan, bahkan tak hanya dikalangan masyarakat awam, dewasa ini lingkungan in-tele'-tual juga terkena imbas isu global dan ikut memerankan hedonisme hidup dibandingkan beradu wacana dalam suasana akademik. lihatlah dosen kita sekarang, mereka lebih intens duduk diruang rapat dan berbicara proyek dibandingkan dengan mblusuk ke kampung-kampung untuk menuntaskan penelitian, gayungpun bersambut para mahasiswanya juga tak mau kalah, mereka ikut larut dalam suasana keindahan dunia yang dibungkus dengan memikat dalam bentuk pragmatisme hidup, gaya hidup metropolis, pacaran, dan berbagi macam sarana pemuas sahwat jauh lebih dikedepankan dibandingkan menyisihkan waktu demi mengejar target membaca satu buku dalam satu minggu. berat memang, mengkampanyekan keranjingan membaca ditengah hiruk pikuk hedonisme yang tengah melanda negara dunia ketiga, karena paradigma dan pola hidup kita telah di setting untuk mengikuti pola hidup mereka (baca; negara adi kuasa) yang telah melewati masa tersebut dan tinggal mereguk keuntungan dengan menjajah segala sesuatu yang kita punya. sungguh ironis masyarakat kita, tengoklah perpustakaan yang ada hanyalah "ramai" ketika tender pengadaan buku, setelah itu...nasib buku-buku itu hanyalah sebuah formalitas intelektualisme sesuatu, seseorang, ataupun institusi... segala sendi kehidupan kita telah dipolitisir sedemikian rupa, hingga apapun yang disuguhkan tak lepas dari kemungkinan adanya keuntungan pragmatis yang diinginkan...membaca sebagai sebuah perjuangan penambah wacana??? ah.., sekarang itu hanyalah sebuah keniscaan yang tak bisa dilihat objektivitasnya... yang pasti, jika kita tak ingin kehilangan generasi dan ingin memberikan suasana baru bagi masyarakat ini, maka buku tak boleh ditingglkan, wacana harus terus diusung, sehingga diskursus dan dinamika pengetahuan tak terhenti sampai kapanpun...jika bukan anda yang memulai..saya yakin Tuhan pun enggan untuk merubahnya....wassalam

Minggu, 22 Juni 2008

Islam-Jawa; Refleksi penyebaran Islam Wali Songo

Oleh: Azmie eF

Para ahli sejarah memang seringkali berbeda pendapat tentang masuknya Islam di Indonesia, namun yang kita sepakati adalah bahwa penyebaran Islam di Jawa telah terjadi pada abad ke-16 M seiring dengan berdirinya kerajaan Islam di Demak.

Agama islam mulai masuk di Indonesia pada abad ke-13M, dan Jawa menerima pengaruh islam pertama kali dari Malaka. Dari sinilah kemudiam islam tersebar kebagian Timur seperti Makasar. Ada beberapa peninggalan yang membuktikan bahwa pusat penyebaran islam saat itu adalah Surabaya dan gresik, yaitu dengan ditemukannya sebuah makam atas nama Fatimah binti Maimun yang meninggal pada 7 rajab 475 H (1082 M) dan makam Malik Ibrahim yang meninggal pada 12 Rabi’ul Awal 822 H (1419 M).

Keberhasilan Islamisasi Jawa tidak terlepas dari ketangguhan para Ulama yang dengan gigih menyebarkan islam lewat jalur yang lebih arif, yaitu dengan melakukan pendekatan dengan masyarakat dan budaya lokal, sehingga tidaklah aneh jika penyebaran Islam di tanah Jawa berjalan damai, nyaris tanpa konflik politik maupun konflik cultural.

Menurut penuturan babad Demak memang pernah terjadi bala tentara Demak yang dipimpin oleh Sunan Ngudung melawan Majapahit di bawah kepemimpinan Adipati Terung Paccatanda. Namun, perang besar tersebut lebih karena suksesi karena terjadi antara pihak orang tua, yakni Brawijaya raja Majapahit, dengan Raden Patah selaku anak yang kala itu menjadi Adipati Bintara dengan gelar Adipati Natapraja.

Peng-Islaman terjadi dengan cara yang sangat damai dan arif, karena para Wali tidak melakukan perubahan ideology secara frontal melainkan dengan membaur dengan budaya dan keyakinan lokal sambil memasukan nilai-nilai ke-Islaman di dalamnya. Mereka benar-benar tekun dan sangat memahami sosiokultur masyarakat Jawa. Seringkali metode ini disebut sebagai metode senkretisme. Metode ini memang berpengaruh besar terhadap perubahan pemahaman masyarakat Jawa untuk menerima Islam sebagai sebuah keyakinan dan mengganti keyakinan sebelumnya. Dalam prakteknya para Wali tidaklah semerta-merta mengecam ritual yang telah mereka yakini berabad-abad dari nenek moyang mereka yang mengajarkan animisme dan dinamisme, namun para wali tetap menggunakan ritual tersebut hanya melakukan modifikasi yang fundamental dari nilai yang disentuh, misalnya Sunan Kali Jaga tidak melarang pembakaran kemenyan yang dulunya menjadi sebuah mediasi untuk menyambungkan keyakinan mereka dengan para dewa, namun Sunan Kali Jaga tetap menjadikan kemenyan sebagai pengharum ruangan bagi seorang muslim saat berdo’a agar dapat lebih khusuk dalam berdo’a; dalam bidang seni bangunan, atap masjid di Jawa pada umumnya beratap tiga lapisan (mirip dengan bentuk rumah peribadatan Hindu), Para Wali tidak merubah masjid dengan Kubah namun, hal tersebut ditafsirkan sebagai simbolisme Iman, Islam dan, Ihsan. Bahkan lembaga tradisional Islam, yakni pesantren merupakan pengalihan dari lembaga pendidikan Hindu yang disebut Mandala. Dalam bidang akidah para wali melakukan pendekatan persuasive dalam melakukan penanaman nilai dan akidah Islam sesuai dengan kondisi obyektif yang ada saat itu, seperti Sunan Kudus yang melarang penyelembihan lembu sebagai bentuk toleransi terhadap kepercayaan lama. Namun, tentunya dengan diiringi oleh upaya pengubahan keyakinan dengan cara de-dewanisasi dengan menunjukan kelewahan para dewa sebagai sesembahan melalui gubahan cerita semacam Hyang Manik Maya (Batara Guru) dan Hyang Ismaya (Semar), masih banyak lagi yang dilakukan dalam rangka mengubah keyakinan lawas dengan masukan nilai-nilai islam dalam ajaran nenek moyang.

Corak islam yang dikembangkan di Jawa identik dengan sufistik yang cenderung sangat dekat dengan klenik dan mistik agama sebelumnya. Dan dibalik keberhasilan penyebaran Islam yang akomodatif ternyata menyisakan sebuah corak keberagamaan Islam-Jawa yang khas, yakni Islam Abangan.

Islam memang telah membumi dengan sebuah penyebaran yang sangat arif dari kecerdasan para Wali, namun kita harus akui Islam-Jawa merupakan sebuah “PR” bagi para Ulama selanjutnya untuk meneruskan estafet perjuangan para Ulama Salaf, yaitu dengan cara memilah dan memilih, serta memisahkan budaya Islam yang masih berbau sinkretis dan syirik itu. Pengkramatan benda-benda tertentu yang dianggap ada karomahnya, tentu itu sah jika sebatas sebagai penghormatan terhadap situs sejarah, namun lebih banyak yang melencengkan kita dari akidah sebut saja acara sekaten di Yogyakarta, upacara Grebek Demak, dan upacara Ya Qowiyyu di Klaten. Tradisi nyadran, nyekar ke makam leluhur dengan niat minta “berkah” kepada arwah leluhur dan danyang-danyang yang dipercaya menguasai kawasan pekuburan tentunya keyakinan ini harus kita geser kepada sebuah bentuk penghormatan kepada yang mendahului kita serta upaya kita sebagai keturunannya untuk mengirim do’a.

Sebagai seorang muslim tentunya masing-masing dari kita punya tanggungjawab bersama untuk menjawab ketimpangan dalam prilaku agama masyarakat kita, karena para wali telah selesai pada satu babak pengenalan Islam tinggal kita meneruskannya dan meluruskannya sesuai dengan realitas yang ada dihadapan kita. Bulan Ramadhan telah ada di hadapan kita, tradisi lama tentu harus kita pertahan kan, nyekar, padusan, dan lain sebagainya. Namun, ada yang harus kita luruskan agar budaya tersebut tidak mengubah akidah kita, mari kita luruskan niat, selamat BERBUDAYA.


Sabtu, 21 Juni 2008

Daar El-Qolam Menangis....


Oleh: Azmie eF

Kabar duka dari Cairo
...mungkin ini tepat untuk menggambarkan kita yang alumni daar el-qolam, ini juga seharusnya mampu membangunkan para santri dan sahabat-sahabat kita dari mimpi dan tidur lelap mereka selama ini, mungkin mesir tak selamanya indah dan lebih indah dari ayat-ayat cinta, musafir cinta, makrifat cinta, ataupin syahadat cinta-nya karena yang 39 adik2 alumni gintung lihat sekarang bukanlah nil dengan segala keindahannya.

benar2 kaget saya mendengar, ternyata besarnya nama gintung tak mampu membuat kenyamanan buat alumni nya untuk melanjutkan pendidikan, berkaca dari ini tentunya daar el-qolam harus lebih mawas diri dan ber introspeksi agar kejadian seperti ini lantas tidak membungkam nama besar gintung serta jerih payah pendirinya KH. Drs. Ahmad Rifa'i Arif Allahumarhamhu....
kejadian gagalnya 39 alumni gintung untuk kuliah di al_azhar, bahkan sampai terlantar (katanya) merupakan hal yang harus cepat di respons oleh gintung, karena bagaimanapun pesantren ikut bertanggungjawab dalam memfasilitasi mereka, bahkan yang disebut2 "Ozie" adalah alumni senior daar el-qolam, kalau para calo ini hanya ingin mengebulkan dapurnya bagi saya lumrah, namun sungguh tidak bijak kalau mereka harus mengorbankan santri gintung...
semoga Bapak Kyai mampu menyelesaikan masalah ini dengan sebaik2nya...amiiin....

Sabtu, 14 Juni 2008

Liarnya Syahwat Tuhan...

Oleh: Azmie eF

jika mengacu pada teori "al-faith" milik ibnu sina, yang menyatakan bahwa manusia adalah pancaran tuhan yang berrefleksi di bumi maka, sutu hal yang lazim jika kita punya hak yang sama atas sifat dan sikap Tuhan dalam arti yang real. bahkan setali tiga uang al-qur'an pun menyatakan bahwa kedekatan kita dengan sang kholiq adalah jauh lebih dekat dari urat nadi kita, merujuk pada ayat "innallaha aqrobu minkum min hablilwarid" tsb bukan kah berarti kita ada dalam kuasa tuhan yang menggerakkan tiap jari dalam tangan dan menentukan tiap langkah kaki kita? dan secara langsung tuhan juga akan merasakan tiap kesedihan dan kesenangan yang kita rasakan...jika memang seperti itu siapakah yang membuat birahi kian tinggi???apakah tuhan juga merasakan orgasme yang kita rasakan ketika merengkuh titik puncak syahwat manusia...apakah yuhan juga yang mengajak kita dalam ranah syahwat liar kekuasaan, dan segala macam keserakan yang muncul dalam ide dan ego kita???
sahabat... Dia yang maha segalanya tentu tak layak jadi kambing hitam atas semua yang kita lakukan dipermukaan bumi, namun tentu apa yang kita lakukan tak akan terlepas dari segala qudrat dan iradah-Nya, jadilah hamba terbaik intuk_nya hingga akhirnya kita akan kembali dalam rangkulan dan pelukan-Nya...