Minggu, 22 Juni 2008

Islam-Jawa; Refleksi penyebaran Islam Wali Songo

Oleh: Azmie eF

Para ahli sejarah memang seringkali berbeda pendapat tentang masuknya Islam di Indonesia, namun yang kita sepakati adalah bahwa penyebaran Islam di Jawa telah terjadi pada abad ke-16 M seiring dengan berdirinya kerajaan Islam di Demak.

Agama islam mulai masuk di Indonesia pada abad ke-13M, dan Jawa menerima pengaruh islam pertama kali dari Malaka. Dari sinilah kemudiam islam tersebar kebagian Timur seperti Makasar. Ada beberapa peninggalan yang membuktikan bahwa pusat penyebaran islam saat itu adalah Surabaya dan gresik, yaitu dengan ditemukannya sebuah makam atas nama Fatimah binti Maimun yang meninggal pada 7 rajab 475 H (1082 M) dan makam Malik Ibrahim yang meninggal pada 12 Rabi’ul Awal 822 H (1419 M).

Keberhasilan Islamisasi Jawa tidak terlepas dari ketangguhan para Ulama yang dengan gigih menyebarkan islam lewat jalur yang lebih arif, yaitu dengan melakukan pendekatan dengan masyarakat dan budaya lokal, sehingga tidaklah aneh jika penyebaran Islam di tanah Jawa berjalan damai, nyaris tanpa konflik politik maupun konflik cultural.

Menurut penuturan babad Demak memang pernah terjadi bala tentara Demak yang dipimpin oleh Sunan Ngudung melawan Majapahit di bawah kepemimpinan Adipati Terung Paccatanda. Namun, perang besar tersebut lebih karena suksesi karena terjadi antara pihak orang tua, yakni Brawijaya raja Majapahit, dengan Raden Patah selaku anak yang kala itu menjadi Adipati Bintara dengan gelar Adipati Natapraja.

Peng-Islaman terjadi dengan cara yang sangat damai dan arif, karena para Wali tidak melakukan perubahan ideology secara frontal melainkan dengan membaur dengan budaya dan keyakinan lokal sambil memasukan nilai-nilai ke-Islaman di dalamnya. Mereka benar-benar tekun dan sangat memahami sosiokultur masyarakat Jawa. Seringkali metode ini disebut sebagai metode senkretisme. Metode ini memang berpengaruh besar terhadap perubahan pemahaman masyarakat Jawa untuk menerima Islam sebagai sebuah keyakinan dan mengganti keyakinan sebelumnya. Dalam prakteknya para Wali tidaklah semerta-merta mengecam ritual yang telah mereka yakini berabad-abad dari nenek moyang mereka yang mengajarkan animisme dan dinamisme, namun para wali tetap menggunakan ritual tersebut hanya melakukan modifikasi yang fundamental dari nilai yang disentuh, misalnya Sunan Kali Jaga tidak melarang pembakaran kemenyan yang dulunya menjadi sebuah mediasi untuk menyambungkan keyakinan mereka dengan para dewa, namun Sunan Kali Jaga tetap menjadikan kemenyan sebagai pengharum ruangan bagi seorang muslim saat berdo’a agar dapat lebih khusuk dalam berdo’a; dalam bidang seni bangunan, atap masjid di Jawa pada umumnya beratap tiga lapisan (mirip dengan bentuk rumah peribadatan Hindu), Para Wali tidak merubah masjid dengan Kubah namun, hal tersebut ditafsirkan sebagai simbolisme Iman, Islam dan, Ihsan. Bahkan lembaga tradisional Islam, yakni pesantren merupakan pengalihan dari lembaga pendidikan Hindu yang disebut Mandala. Dalam bidang akidah para wali melakukan pendekatan persuasive dalam melakukan penanaman nilai dan akidah Islam sesuai dengan kondisi obyektif yang ada saat itu, seperti Sunan Kudus yang melarang penyelembihan lembu sebagai bentuk toleransi terhadap kepercayaan lama. Namun, tentunya dengan diiringi oleh upaya pengubahan keyakinan dengan cara de-dewanisasi dengan menunjukan kelewahan para dewa sebagai sesembahan melalui gubahan cerita semacam Hyang Manik Maya (Batara Guru) dan Hyang Ismaya (Semar), masih banyak lagi yang dilakukan dalam rangka mengubah keyakinan lawas dengan masukan nilai-nilai islam dalam ajaran nenek moyang.

Corak islam yang dikembangkan di Jawa identik dengan sufistik yang cenderung sangat dekat dengan klenik dan mistik agama sebelumnya. Dan dibalik keberhasilan penyebaran Islam yang akomodatif ternyata menyisakan sebuah corak keberagamaan Islam-Jawa yang khas, yakni Islam Abangan.

Islam memang telah membumi dengan sebuah penyebaran yang sangat arif dari kecerdasan para Wali, namun kita harus akui Islam-Jawa merupakan sebuah “PR” bagi para Ulama selanjutnya untuk meneruskan estafet perjuangan para Ulama Salaf, yaitu dengan cara memilah dan memilih, serta memisahkan budaya Islam yang masih berbau sinkretis dan syirik itu. Pengkramatan benda-benda tertentu yang dianggap ada karomahnya, tentu itu sah jika sebatas sebagai penghormatan terhadap situs sejarah, namun lebih banyak yang melencengkan kita dari akidah sebut saja acara sekaten di Yogyakarta, upacara Grebek Demak, dan upacara Ya Qowiyyu di Klaten. Tradisi nyadran, nyekar ke makam leluhur dengan niat minta “berkah” kepada arwah leluhur dan danyang-danyang yang dipercaya menguasai kawasan pekuburan tentunya keyakinan ini harus kita geser kepada sebuah bentuk penghormatan kepada yang mendahului kita serta upaya kita sebagai keturunannya untuk mengirim do’a.

Sebagai seorang muslim tentunya masing-masing dari kita punya tanggungjawab bersama untuk menjawab ketimpangan dalam prilaku agama masyarakat kita, karena para wali telah selesai pada satu babak pengenalan Islam tinggal kita meneruskannya dan meluruskannya sesuai dengan realitas yang ada dihadapan kita. Bulan Ramadhan telah ada di hadapan kita, tradisi lama tentu harus kita pertahan kan, nyekar, padusan, dan lain sebagainya. Namun, ada yang harus kita luruskan agar budaya tersebut tidak mengubah akidah kita, mari kita luruskan niat, selamat BERBUDAYA.


Tidak ada komentar: